Pendidikan Nasional Tanpa Tanggung Jawab

Pemerintah resmi menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada Rabu, 24 Agustus 2022.

 

Pemerintah menyebut RUU Sisdiknas sebagai RUU Sisdiknas Agustus 2022. Naskah akademik ditandatangani oleh Pj. Kepala Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D, Badan Penilai Standar Kurikulum dan Pendidikan atas nama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada 15 Juli .

 

Penulis kemudian menyebut RUU ini sebagai “RUU Sistem Pendidikan Nasional Tanpa Pertanggungjawaban”.

Baca Juga : Biaya Publikasi Jurnal Internasional

Berdasarkan RUU tersebut, penulis dapat memahami mengapa pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menerbitkan dokumen penting arah pendidikan nasional tahun 2020 yaitu diterbitkannya Profil Pelajar Pancasila.

 

Profil peserta didik Pancasila tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Strategi Rencana Kemendikbud 2020-2024.

 

Profil mahasiswa Pancasila digambarkan sebagai mahasiswa sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: (1) Iman, Takut kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, (2) Kebhinekaan Global, (3) ) ) Bekerja sama, (4) mandiri, (5) penalaran kritis, dan (6) kreatif.

 

Ternyata yang dilakukan Kemendikbud dan Ristek saat menyusun profil Pelajar Pancasila mengacu pada rumusan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam rancangan sistem pendidikan nasional, yaitu:

 

“Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk masyarakat yang beriman, menjunjung tinggi pluralisme, demokrasi dan martabat, kemajuan dan peradaban, serta kesejahteraan jasmani dan rohani manusia.”

 

Mencermati kiprah Kemendikbud dan Kemenristekdikti, setidaknya ada tiga hal yang patut diperhatikan dari segi bentuk, materi dan filosofi substantif.

 

Pertama, pemerintah secara formal tidak mengindahkan dan mengikuti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11, dalam rangka menerbitkan Peraturan Menteri Aktual yang memuat Profil Mahasiswa Pancasila. Nomor 15 Tahun 2019.

 

Analogi sederhananya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Iptek melahirkan anak (Permen) tanpa orang tua (PP) dan kakek (UU).

 

Sebagai upaya kreatif tentu diapresiasi. Namun mengandalkan produk kebijakan yang belum ada undang-undangnya tentu terbuka untuk dikritik.

 

Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas ternyata menjadi “acuan” penyusunan Profil Pelajar Pancasila oleh Badan Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namun tidak mencantumkan demokrasi dan susunan kata yang bertanggung jawab.

 

Upaya kepatuhan negara adalah fait accompli, dan itu seharusnya tidak mudah menurut saya — bukannya tidak boleh dilakukan.

 

Imajinasi dan kreativitas anak-anak di setiap negara yang diserahi tugas menulis dokumen tetap bebas untuk diekspresikan.

 

Namun sebagai sebuah negara tentunya akan melalui berbagai tahapan diskusi, diskusi, refleksi, bahkan debat sebelum akhirnya mencapai kesepakatan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) sebagai cerminan suara rakyat dan Presiden.

 

Hanya dengan cara ini produk yang sah dapat digunakan sebagai dasar hukum dan operasi.

 

Kedua, pada hakekatnya tentu setiap kata dalam peraturan mempunyai arti hukum yang sangat menentukan eksistensi pendidikan nasional. Pada akhirnya akan lahir generasi penerus bangsa.

 

Jika penetapan tujuan pendidikan nasional dijadikan tolok ukur, maka dapat dikatakan bahwa penetapan tujuan dalam UU Sisdiknas tidak secara tegas mengacu pada kualifikasi peserta didik/individu/masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya.

 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, bersama dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “mengembangkan pribadi-pribadi yang bermoral dan warga negara yang demokratis, yang bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.

 

Kepres RI No. 145 Tahun 1965: Membangun warga negara Indonesia sosialis yang bermoral, bertanggung jawab menyelenggarakan masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur jiwa dan materi, serta berjiwa Pancasila.